Gagasan awal mengoreksi tarjamah harfiyah Al-Qur’an terbitan Kementerian Agama oleh Amir Majelis Mujahidin Al-Ustadz Muhammad Thalib, muncul sejak tahun 1980-an. Tetapi gagasan ini dikerjakan secara intensif terhitung sejak tahun 2000 hingga 2011. Kemudian, upaya koreksi ini kian menemukan momentum dan relevansinya setelah komunitas sekuler dan liberal di Indonesia semakin gigih dan nekad mendiskreditkan kitab suci umat Islam itu. Mereka mengopinikan, bahwa Al-Qur’an mengandung unsur-unsur kekerasan dan kebencian terhadap non Islam.
Bahkan, mereka menuding, terorisme dan aksi bom yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh kelompok teroris ideologis, yang mendasarkan tindakannya pada ayat-ayat Al-Qur’an kategori radikal. Di balik tuduhan apriori itu, mereka berupaya melakukan deradikalisasi Al-Qur’an secara sistematis melalui revisi Al-Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan Kemenag itu.
Dalam Simposium Nasional bertema: ‘Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme’ di Jakarta, Rabu 28 Juli 2010, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (kini Wakil Menteri Agama) Kemenag, Prof. Dr Nasaruddin Umar dengan gamblang menyatakan: “Ini (terjemah Al-Qur’an) bukan produk dominasi negara, melainkan produk bersama dengan masyarakat.” Nasaruddin menegaskan, “Ini merupakan program khusus untuk upaya deradikalisasi.”
Audiensi Mujahidin dan MUI
Pada 25 Shafar 1432 H/ 30 November 2010, tim dari Majelis Mujahidin beraudiensi dengan Pimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI), menyampaikan sejumlah musykilah berkaitan dengan fatwa resmi beberapa negara Timur Tengah tentang penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa ‘Ajam (non Arab) dan kekeliruan terjemahan Al-Qur’an versi Depag (Kemenag) RI yang beberapa kali mengalami revisi.
KH. Abdullah Syukri Zarkasyi mengatakan : “Kita patut merespons temuan Majelis Mujahidin. Al-Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan Kemenag, tidak saja salah terjemah, melainkan isi terjemahnya juga banyak yang salah.”
Oleh karena itu, Ketua MUI KH Ma’ruf Amin berjanji akan mempelajari kekeliruan Al-Qur’an dan Terjemahnya versi Depag RI. Bahkan MUI akan menjadi mediator untuk menyampaikan persoalan ini ke Kementerian Agama. Namun, diakui juga, dibutuhkan waktu cukup lama untuk membahas kesalahan terjemah Al Qur’an versi Depag ini. Hingga diterbitkannya Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah ini, MUI belum juga memenuhi janjinya.
Dialog Mujahidin dan Tim Kemenag
Respons Menteri Agama RI, Suryadarma Ali terhadap surat Majelis Mujahidin Nomor 80/MM LT/VII/1431, tanggal 16 Ramadhan 1431/ 26 Agustus 2010 tentang Tarjamah Harfiyah Al-Qur’an Depag RI cukup positif, dengan menggelar dialog antara Majelis Mujahidin dengan Balitbang dan Lajnah Pentashih al-Qur’an Kemenag. Pertemuan berlangsung di ruang sidang Anjungan Lampung TMII (Taman Mini Indonesia Indah) pada hari Jum’at, 29 April 2011, yang resmi dibuka pada pukul 09.00 oleh Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag Prof. Dr. Abdul Jamil.
Peserta dialog diikuti sekitar 25 peserta dari Lajnah Pentashih Al-Qur’an, Balitbang dan Diklat Kemenag, IIQ serta peneliti senior dari Kemenag. Sedangkan dari Majelis Mujahidin diwakili Ustadz Muhammad Thalib, Abu Muhammad Jibril Abdurrahman, Irfan S ‘Awwas, M. Shabbarin Syakur, dan La Ode Agus Salim.
Acara bertajuk “Dialog Keagamaan Tentang Terjemah Al-Qur’an” tersebut dikemas dalam bentuk diskusi panel yang menghadirkan 4 pembicara dari Kemenag, Dr. Muchlis M. Hanafi, Prof. Musthafa Ali Ya’kub, M.A. (Lajnah Pentashih Al-Qur’an), Prof. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, MA (rektor IIQ) dan Drs. M. Thalib dari Majelis Mujahidin.
Majelis Mujahidin menunjukkan kesalahan tarjamah harfiyah Al-Qur’an Depag berdasarkan penelitian serta telaah selama 10 tahun. Ditegaskan bahwa terdapat sejumlah tarjamah harfiyah ayat Al-Qur’an yang dapat dikategorikan pemicu terorisme dan legalisasi perzinahan. Akibat kesalahan fatal pada terjemahan Al-Qur’an versi Departemen Agama ini bisa memicu orang menjadi teroris. Bahkan, terjemahan yang tidak pas itu dikhawatirkan juga bisa membuat orang menghalalkan dekadensi moral.
Delegasi ke Mujamma’ Madinah
Dalam perjalanan Umrah, 5 Ramadhan 1432 H/ 5 Agustus 2011, Delegasi Majelis Mujahidin berkunjung ke Kantor Mujamma’ al-Malik Fahd li thiba’at al-Mushaf asy-Syarif (Lembaga Percetakan Al-Qur’an Raja Fahd) di Madinah; yang mencetak Al-Qur’an dan Terjemahnya, yang dibagikan secara gratis kepada para jama’ah haji Indonesia dan kaum muslim di Indonesia.
Pada 6 Ramadhan 1432 H/ 6 Agustus 2011 M, delegasi MM beraudiensi dengan DR. Ali Nashir Faqihy (Direktur Kajian Ilmiah Mujamma’) dan DR. Fak Abdurrahim (Ketua Bagian Penerjemahan Mujamma’). Delegasi Majelis Mujahidin terdiri dari Muhammad Thalib, Muhammad Iqbal Abdurrahman, Irfan S Awwas, Shabbarin Syakur, Emil R Lamisi, SE, MM, M.Hum. Ikut bersama delegasi MM, Amiruddin Abdullah Rasul, MA, dan Roy Grafika (Mahasiswa Jami’ah Islam Madinah Program S2 jurusan Dakwah).
Maksud kunjungan ini membawa misi tunggal, menyampaikan bahwa Tarjamah Harfiyah Al-Qur’an Kemenag RI yang dicetak Mujamma’ mengandung kesalahan terjemah sebanyak 3229 ayat. Hal ini dilakukan guna memenuhi antara lain, harapan Menteri Agama, Wakaf, Da’wah dan Bimbingan Islam, serta Penaung Umum Al-Mujamma’, Syeikh Saleh ibn ‘Abdul ‘Aziz ibn Muhammad Al-Syeikh. Dalam Kata Sambutan Al-Qur’an dan Terjemahnya beliau menyatakan: “Kami mengharapkan dari setiap pembaca Al-Qur’an dan Terjemahnya ini untuk berkenan menyampaikan segala bentuk kesalahan, kekurangan ataupun tambahan yang didapatinya, kepada pihak Mujamma’ al Malik Fahd di al Madinah an Nabawiyah, guna perbaikan dalam cetakan-cetakan berikutnya, insya Allah.”
Alhamdulillah, pihak Mujamma’ menyambut positif misi delegasi ini, dan mengusulkan dibentuknya Tim peneliti untuk mempelajari koreksi terjemah yang dilakukan Majelis Mujahidin.
Grand Launching Al Qur’an Tarjamah Tafsiriyah
Pada tanggal 31 Oktober 2011, Majelis Mujahidin melalui Penerbit Ma’had An-Nabawy –yang berada dibawah naungan Ahlu Shuffah Foundation– menggelar Grand Launching Tarjamah Tafsiriyah Al-Qur’an di Hotel Sultan – Jakarta, pukul 09:00 WIB, dengan mengusung tema “Selamat Datang Karya Monumental AL-QUR’AN TARJAMAH TAFSIRIYAH, Pertama dan satu-satunya di Indonesia”
Peluncuran Al Qur’anul Karim Tarjamah Tafsiriyah ini, menjadi sangat penting untuk mengenalkan pada masyarakat terutama para ulama, cendekiawan, tokoh masyarakat, dengan harapan dapat memberikan respons positif dan kritik yang konstruktif untuk perbaikan pada penerbitan yang akan datang.
Terbitnya karya monumental Al Qur’an Terjemah Tafsiriyah, disertai Buku Koreksi Tarjamah Harfiyah Al Qur’an Kemenag RI, sesungguhnya sebagai ikhtiyar meluruskan salah faham terhadap misi Al Qur’an disebabkan adanya salah terjemah ayat-ayat Al Qur’an. Koreksi dilakukan semata-mata untuk menjaga otentisitas makna dan kehormatan Al-Qur’an. Supaya tidak ternodai oleh penyimpangan tangan-tangan manusia, sebagaimana yang terjadi pada kitab suci agama lain.
Al-Qur’an Terjemah Tafsiriyah : Sebuah Kritik Metodologi
Ikhtiar Pemerintah Republik Indonesia untuk mengenalkan Al-Qur’an yang berbahasa Arab kepada masyarakat Indonesia, melalui terjemahan berbahasa Indonesia, tentulah dimaksudkan untuk kebaikan dan kemaslahatan. Supaya umat Islam, terutama mereka yang belum menguasai bahasa Arab, dapat memahami dan mengamalkan Kitab Sucinya dengan benar.
Namun, sejak terbit perdana hingga terbitan edisi revisi Al-Qur’an dan Terjemahnya yang dikeluarkan oleh Kemenag ini, ternyata terjemahannya mengandung banyak kesalahan prinsipil dan substansial. Fakta adanya revisi memang membuktikan adanya kesalahan terjemah yang harus dikoreksi dan diluruskan. Hanya saja, tim revisionis Kemenag belum mau bersikap fair, mengakui adanya kesalahan, melainkan menganggap sekadar beda tafsir dan beda sudut pandang saja. Padahal, kesalahan tarjamah harfiyah, sebagaimana ditunjukkan dalam Buku Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur’an Kemenag RI, sangat fatal dan tidak ada kaitannya dengan perbedaan tafsir maupun sudut pandang. Kesalahan terjemah ini mustahil ditolerir, baik ditinjau dari segi akidah, syari’ah, mu’amalah, logika, maupun tata bahasa Arab.
Kesalahan terjemah Al-Qur’an versi Kemenag RI, terutama disebabkan oleh kesalahan memilih metode terjemah, dimana, metode terjemah Al-Qur’an yang dikenal selama ini ada dua macam, yaitu tarjamah harfiyah dan tarjamah tafsiriyah.
Dalam pengantar cetakan pertama Al-Qur’an dan Terjemahnya, 17 Agustus 1965, Dewan Penerjemah Depag RI menyatakan bahwa terjemah dilakukan secara harfiyah (leterliyk).
“Terjemahan dilakukan se-leterlijk (seharfiyah) mungkin. Apabila dengan cara demikian terjemahan tidak dimengerti, maka baru dicari jalan lain untuk dapat difahami dengan menambah kata-kata dalam kurung atau diberi not.”
Merujuk Fatwa Ulama Jami’ah Al-Azhar Mesir, yang dikeluarkan tahun 1936 dan diperbarui lagi tahun 1960, Terjemah Al-Qur’an secara harfiyah hukumnya haram. Demikian pula yang difatwakan oleh Dewan Fatwa Kerajaan Arab Saudi No. 63947 tanggal 19 Jumadil ‘Ula 1426 H atau 26 Juni 2005.
Dalam fatwa tersebut juga ditegaskan bahwa terjemah Al-Qur’an yang dibenarkan adalah terjemah tafsiriyah. Dinyatakan haram karena bobot kebenarannya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara syar’iyah maupun ilmiah, sehingga dikhawatirkan menyesatkan serta mengambangkan aqidah kaum Muslim.
Fatwa haram tarjamah harfiyah Al-Qur’an ke dalam bahasa ‘Ajam (non Arab), juga dikeluarkan oleh Dewan Ulama 7 negara di Timur Tengah. Yaitu, Jami’ah Al-Azhar, Kairo, Dewan Fatwa Ulama Saudi Arabia, Universitas Rabat Maroko, Jami’ah Jordania, Jami’ah Palestina, Dr. Muhammad Husein Adz-Dzahabi dan Syekh Ali Ash-Shabuni. Kesemuanya sepakat menyatakan, “bahwa terjemah Al-Qur’an yang dibenarkan adalah tarjamah tafsiriyah, sedangkan tarjamah harfiyah terlarang atau tidak sah.”
Lantas, apakah perbedaan antara tafsir dan tarjamah tafsiriyah? Adapun tafsir, adalah menjelaskan Al-Qur’an yang berbahasa Arab dengan bahasa Arab juga. Dalam menafsirkan Al-Qur’an perlu memperhatikan kaídah-kaidah yang berlaku, yang dikenal dengan istilah tafsir bil ma’tsur sebagaimana dikemukakan oleh Abu Hayyan dalam tafsir Al-Bahru Al-Muhith.
Sedangkan tarjamah tafsiriyah, maksudnya menerjemahkan makna ayat-ayat Al-Qur’an ke dalam bahasa lain dengan menggunakan pola-pola bahasa terjemahan. Sehingga, sangat penting untuk memperhatikan semua kaidah dalam menafsirkan Al-Qur’an, dan mengetahui perbedaan pola kalimat serta konstruksi bahasa Arab dan bahasa terjemahannya, semisal struktur (tata bahasa), tasrif (morfologi/perubahan kata), rasa bahasa, logika bahasa, lingkungan bahasa, latar belakang bahasa, kadar intelektual bahasa, budaya bahasa.
Dalam menyusun tarjamah tafsiriyah ini, Al-Ustadz Muhammad Thalib menggunakan sekurang-kurangnya 16 rujukan kitab-kitab tafsir salaf, diantaranya: Tafsir At-Thabari, Tafsir Bahrul ‘Ulum oleh Imam Samarqandi, Tafsir Ad-Durrul Mantsur oleh Imam Suyuthi, Tafsir Al-Kasyf oleh Ats-Tsa’labi, Tafsir Al-Qur’anil ‘Adhim oleh Ibnu Katsir, Tafsir Ma’alimut Tanzil oleh Al-Baghawi, Tafsir Al-Muharraq Al-Wajiz oleh Ibnu ‘Athiyyah, Tafsir Al-Jawaahirul Hissaanu oleh Ats-Tsa’labi, Tafsir Al-Muntakhab oleh Kementerian Waqaf Mesir, Tafsir Al-Misbah Al-Munir oleh Tim Ulama India, At-Tafsir Al-Wajiz oleh Dr. Wahbah Zuhaili, dan sebagainya.
Tidak kalah pentingnya, koreksi atas kesalahan tarjamah harfiyah Al-Qur’an Kemenag juga dilakukan dengan memperhatikan karakter serta misi Al-Qur’an. Karakteristik Al-Qur’an yang dimaksud meliputi: jelasnya makna setiap ayat, kerincian penjelasan, ketegasan dan kemudahan dalam memaknai makna ayat, kesederhanaan pemilihan kata-kata, penyampaian yang ringkas dengan perumpamaan yang sempurna, Isinya mudah diterima akal, kandungan ayatnya mencerahkan akal dan hati, serta penyajian satu masalah dengan pola kalimat yang berbeda-beda guna memantapkan makna dan pemahaman.
Adapun misi Al-Qur’an antara lain: menjadi petunjuk ke jalan yang benar, membedakan yang hak dari yang batil, memberikan rahmat dan barakah, menjelaskan hal-hal ghaib dengan tegas, menegaskan keesaan Allah dan membatalkan syirik, dan membuka cakrawala pengetahuan.
Oleh karena itu, dalam menilai kesalahan terjemah Al-Qur’an versi Kemenag, digunakan parameter yang ilmiah dan obyektif. Apakah hasil terjemah itu menyalahi aqidah salaf, menyalahi kaidah logika, menyalahi struktur bahasa Arab? Juga, apakah terjemah bertentangan dari maksud ayat, atau menggiring maksud ayat ke arah yang menyimpang dari syari’at Islam?
Koreksi terjemah ini juga ditinjau dari 8 aspek: tata bahasa Indonesia, logika bahasa Indonesia, sastera Arab, latar belakang turunnya ayat, maksud ayat, aqidah, syari’ah, mu’amalah (sosial dan ekonomi). Untuk memastikan kesalahan terjemah, merujuk pula pada maksud ayat dalam bahasa Arabnya, sehingga memudahkan untuk mengoreksi serta menemukan kesalahan terjemahannya.
Berdasarkan kaidah-kaidah dan parameter inilah, maka ditemukan sebanyak 3229 kesalahan terjemah dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya. Dan seluruh terjemah Al-Qur’an yang beredar di Indonesia, yang merujuk pada terjemah Al-Qur’an versi Kemenag, secara otomatis mengandung kesalahan yang sama. Jumlah kesalahan sebanyak ini, bukan mengada-ada, melainkan berpedoman pada perhitungan salah terjemah dalam setiap ayat, bukan kesalahan per kata yang terdapat pada setiap ayat. Jika dihitung berdasarkan kesalahan per kata atau kalimat bahasa Indonesia, niscaya akan ditemukan berlipat-lipat jumlah kesalahannya.
Maka tidak berlebihan bila tarjamah harfiyah Al-Qur’an Kemenag ini –tanpa bermaksud mengadili- dapat dinilai sebagai tindakan merubah ayat Al-Qur’an dari maksud sebenarnya yang dapat menyimpangkan manusia dari jalan Allah.
Selain kontroversi terjemah Al-Qur’an yang sudah ada, sejak Februari 2010 Kemenag menerbitkan lagi terjemahan baru Al-Qur’an yang membawa misi menyesatkan: deradikalisasi Al-Qur’an. Revisi terjemah Qur’an versi terbaru, yang diterbitkan Kemenag, mengindikasikan bukan saja upaya deradikalisasi, melainkan juga deislamisasi (pendangkalan aqidah Islam) dengan lisan dan tulisan melalui terjemah Qur’an tersebut. Dengan menggunakan metode tarjamah harfiyah yang telah diharamkan oleh para ulama, sebagaimana dipaparkan di atas, hasilnya terbukti sesat dan menyesatkan.
Fatwa Larangan Tarjamah Harfiyah Al-Qur’an
Tajuk Fatwa : Hukum Menerjemahkan Al-Qur’an
Nomor Fatwa : 42
Tanggal Penambahan : Kamis, 5 Jumadil Akhir 1425 H / 22 Juli 2004 M
Pemberi Fatwa : Komite Tetap Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa
Sumber Fatwa : Fatwa Nomor : 833, Jilid 4, Halaman 132
Soal :
Menerjemahkan Al-Qur’an atau beberapa ayat Al-Qur’an ke dalam bahasa asing, untuk menyebarkan dakwah Islam yang benar ke negara-negara non-muslim. Apakah usaha ini menyalahi syari’at dan agama?
Jawab :
Segala puji hanyalah bagi Allah. Shalawat serta salam kita tujukan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya dan sahabat-sahabatnya.
Menerjemahkan Al-Qur’an atau beberapa ayatnya, untuk menjelaskan maksud Al-Qur’an secara utuh, tidaklah mungkin. Oleh karena itu, menerjemahkan Al-Qur’an atau beberapa ayat secara harfiyah tidak boleh, sebab hal ini dapat menyebabkan pengertian yang salah, dan penyimpangan dari maksud yang sebenarnya.
Seseorang yang menerjemahkan satu ayat atau lebih yang dipahaminya, dan menjelaskan hukum serta tuntunan Al-Qur’an yang dipahaminya dengan bahasa Inggris, Perancis, atau Persia untuk menyebarkan pengertian Al-Qur’an yang dipahaminya dan mengajak manusia kepada Al-Qur’an, hal demikian dibolehkan, sebagaimana orang menafsirkan Al-Qur’an atau beberapa ayat Al-Qur’an yang dipahaminya dalam bahasa Arab. Akan tetapi, yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai : ahli tafsir Al-Qur’an, mampu menjelaskan aspek hukum dan tuntunan Al-Qur’an secara cermat dengan pemahaman yang diperolehnya dari Al-Qur’an.
Siapa saja yang tidak memenuhi persyaratan ini, atau tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan maksud Al-Qur’an, baik dalam bahasa Arab atau Non-Arab secara cermat, maka dia tidak boleh melakukan usaha ini. Karena dikhawatirkan merubah makna Al-Qur’an dari maksud yang sebenarnya, sehingga yang semula maksudnya baik, menjadi tidak baik; dan keinginannya yang semula baik menjadi buruk.
Wa billahi taufiq, semoga Allah memberi taufik. Semoga rahmat Allah terlimpah kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarganya dan sahabat-sahabatnya.
Komite Tetap Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa, Arab Saudi
Anggota : Abdullah bin Mani’
Anggota : Abdullah bin Ghadyan
Wakil Ketua : Abdul Razzaq Afifi
Ketua : Abdul Aziz Bin Baz